Why
Can I Let You Go
Author : JongYi Hope Angel
Title : Why Can I Let You Go
Genre : Romance, sad
Length : Freelance
Main Cast :
*) Oh Sehun aka
Sehun
*) Park Rin Rin
aka Rinrin
Other Cast :
Find it by yourself~
Disclaimer : Copast tanpa kredit? HIDUP ANDA TIDAK AKAN
PERNAH TENANG!
“ Noona,
mianhaeyo. I can’t kept my promise.” – Oh Sehun
Oh Sehun POV
Hari semakin gelap dan aku masih saja
menunggu di cafe ini. Bahkan kopi yang kupesan tadi sekarang sudah tidak mengeluarkan
asap lagi. Sepertinya hanya tinggal aku dan seorang barista di sini. Tiga jam
sudah aku menghabiskan waktu di sini, mungkin dia tidak akan datang lagi. Meskipun
ia yang memintaku menunggunya di sini, dia bisa saja menggagalkan rencananya
sendiri. Dia terlalu sibuk dengan dunianya.
Hujan deras akhirnya mengguyur jalanan
yang tidak akan pernah kosong. Satu per satu orang berlarian untuk melindungi
diri mereka dari hujan yang sangat lebat. Sekali lagi, aku hanya berdiam diri
sendiri di sini. Hanya dengan sebuah ponsel di depan mataku. Aku merangkai
kata-kata lalu aku menghapusnya lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya aku hanya
bisa menulis, ‘ Mianhae, aku pulang duluan. Ini sudah sangat gelap.’ Aku langsung
mengirim pesan pendek itu dan bergegas pergi ke apartemenku.
Dengan menggunakan jaket hitamku, aku
berlari mengejar bus yang sepertinya sudah akan pergi lagi dari halte dekat
cafe. Aku merasa beruntung karena aku masih mendapatkan bangku kosong di bus,
lebih tepatnya di samping teman wanitaku yang sepertinya mendapatkan kelas
malam. Tidak ada pembicaraan sama sekali antara kita, ia terus memasang headsetnya
dan melihat ke arah luar.
‘ Gwaenchana, pulanglah. Tidur yang
lelap, aku berjanji padamu akan membelikan sarapan untukmu besok pagi~~
Saranghaeyo Hunnie~~’. Ternyata balasan dari seorang wanita yang bisa kupanggil
sebagai kekasihku. Bahkan aku sudah menghapal balasannya dan aku sudah tahu hal
apa yang akan ia lakukan esok. Ia akan datang, membangunkanku, memberikan
sarapan, menyiapkan bajuku, mengecupku hangat, lalu pergi lagi. Sebenarnya aku
tidak merasa ia seorang kekasihku sekarang, tetapi aku merasa dia adalah
Noonaku.
Meskipun umur kami tidak terpaut terlalu
jauh, aku hanya dua tahun lebih muda daripadanya dia selalu menganggapku
seperti anak kecil. Entah ada hal apa, dulu aku sangat menggilainya. Bahkan aku
selalu sengaja terjatuh ketika futsal agar aku bisa bertemu dengannya. Akupun mengikuti
langkahnya memasuki dunia kedokteran, meskipun ia masuk lebih awal daripada
aku.
Untuk sekarang ini aku berpikir lagi hal
apa yang membuatku begitu mencintainya dulu? Aku merasa rasa yang dulu pernah
aku punya menghilang begitu saja bersama angin kecil yang entah membawanya
kemana. Berkali-kali aku berusaha mencari rasa itu lagi, justru aku merasakan
hal lain.
Apartemenku sudah ada di depan mata,
tinggal memasukan password dan aku bisa tertidur pulas di dalam sana. Di kamar,
aku langsung tertidur begitu saja tanpa membuka sehelai benangpun dari tubuhku.
Sepertinya aku kelelahan karena kegiatan hari ini.
***
Berkas-berkas cahaya putih menimpa
mataku sehingga aku membuka mataku. Aku melihat-lihat ke sekeliling apartemen,
tidak ada Rin Noona. Tidak biasanya dia telat terbangun, biasanya ia akan duduk
di sampingku sambil mengocekan susu untukku. Mungkin ia lupa karena tugasnya
menjadi dokter.
Aku berjalan mengambil air putih karena
kerongkonganku terasa sangat kering. Lalu aku melangkah lagi ke arah jendela
apartemen, tapi ada sesuatu yang mengganjalku. Aku berjalan mundur lagi dan
melihat kalender. Tanggal delapan diberi warna merah olehku. Apa ini? Ternyata hari
jadi kami yang keenam tahun. Biasanya Rin Noona akan datang dan menyampaikan
beberapa patah kata sebagai tanda kalau ia senang bisa melewati masa itu dengan
mudah. Tapi hari ini ia tidak datang.
Aku bergegas mandi dan berangkat ke
kampus lagi. Hari ini aku pergi seperti biasa menggunakan bus. Tidak ada yang
spesial di bus, hanya jalanan dengan gedung-gedung memenuhi pinggir jalan. Aku menatap
ponselku, tidak ada pesan masuk sama sekali. Tanganku menyentuh kontak bernama
Rin lalu menyentuh tanda telepon. Entah kenapa aku sedang ingin bertemu
dengannya hari ini.
“ Noona, eoddiseo?” Tanyaku tanpa ada
basa basi sama sekali.
“ Mianhae,
pasienku membutuhkanku. Tapi hari ini aku ada jam mengajar di kampus, tenang
saja.” Balasnya dengan suara yang sangat manis.
“ Na gwaenchana, Noona-ya. Tapi aku
ingin bertemu denganmu, makan siang di cafe.” Lagi-lagi aku tidak bisa berbasa
basi sedikitpun.
“ Ne,
arraseo. Aku pasti datang. Hunnie, saranghaeyo~” Masih dengan suara yang
sama seperti sebelumnya.
“ Nado saranghae, Rin Noona.” Aku langsung
menutup telepon.
Entah kenapa, suara Rin Noona selalu
saja bisa menaikan moodku. Mungkin ini yang membuatku selalu bertahan, tapi aku
juga sering merasa lelah dengan sifatnya yang terlalu dewasa.
Jam pertama berjalan dengan baik. Break time
aku isi dengan mengerjakan tugas yang belum aku selesaikan. Berlanjut lagi ke
jam ketiga sekaligus juga jam terakhirku hari ini. Hingga waktu makan siang,
kelas belum dibubarkan sama sekali. Rin Noona pasti sudah menungguku di cafe. ‘Hunnie,
apa masih lama? Kalau tidak aku akan memesankan makanan untukmu dulu.’ Aku membuka
ponselku tepat ketika kelas dibubarkan.
Di cafe terlihat Rin Noona yang sudah
menikmati makanannya terlebih dahulu. Dengan gerakan cepat, aku langsung
memasuki cafe dan duduk berhadapan bersamanya. Rin Noona hanya memberikan
senyum kepadaku lalu memakan makanannya lagi.
“ Noona, kenapa kau mendahului aku?”
Tanyaku membuyarkan suasana.
“ Sebenarnya masih ada pasien yang harus
kuurus.” Balasnya sambil menatapku lembut, tangannya masih menarik-narik mie
dari mangkuknya.
“ Apa kau menghindar dariku, Noona?
Kenapa kau selalu sibuk di rumah sakit? Apa kau sudah tidak memedulikanku?”
Tanyaku bertubi-tubi tanpa memberikannya ruang untuk membalas.
“ Aniyo.
Jika kau sudah lulus nanti, kau akan mengerti mengapa aku selalu seperti
ini. Bahkan di rumah sakit aku selalu memikirkanmu, bagaimana caranya kita bisa
berkencan dan berjalan berdua lagi.” Jelasnya, dan sekarang ia tidak memberikan
ruang untukku membalas atau menyangkal tutur katanya.
“ Ah, kau selalu mengatakan itu.” Aku
memakan mieku lahap.
“ Hunnie, aku ingin kau menjadi dokter
yang sesungguhnya. Kalau aku sakit parah, kau harus berjanji padaku kaulah yang
akan menanganiku.” Rin Noona menaruh sumpitnya karena memang ia sudah selesai
menghabiskan makanannya.
“ Aku akan mengusahakannya.” Balasku
asal.
“ Hunnie, aku harus pergi. Annyeong,
chagi.” Ia mengecup bibirku dengan gerakan yang sangat cepat.
Aku menghabiskan mieku lebih cepat dari
biasanya. Hari ini harusnya aku bekerja di toko buku. Karena keinginan untuk
mandiri dan untuk pembuktian kepada Appa juga, aku rela bekerja part time
setiap harinya. Setidaknya dengan bekerja juga akan mengisi waktu kosongku,
walaupun agak sedikit melelahkan.
Aku berjalan keluar cafe dengan
merapikan kemejaku dulu. Tetapi kegaduhan terjadi tepat di depan cafe. Orang-orang
seperti mengelilingi sesuatu. Aku penasaran dengan apa yang terjadi, lagipula
hanya tinggal beberapa bulan lagi aku akan mendapatkan gelar dokterku, jadi
sekiranya aku bisa memberikan pertolongan pertama jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Aku menyisiri kerubunan orang-orang yang semakin lama semakin
penuh dan menyesakan. Akhirnya aku bisa melihat apa yang terjadi.
“ Rin Noona?” Aku membulatkan mataku
ketika aku menyadari siapa yang sedang tergeletak di sana.
Aku berlari mendekati Rin Noona. Aku pangku
kepalanya yang masih mengeluarkan darah dengan derasnya. Wajahnya terlihat
sangat pucat yang kuyakini karena kekurangan darah. Tangannya masih bisa
digerakan tapi dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“ Noona-ya, kau bisa mendengarku?” Aku
membisikan kata-kata di telinganya dan dibalas dengan anggukan lemas dari
kepalanya. “ Noona, saranghaeyo~” Lanjutku dengan suara lebih lembut dari tadi.
“ Hunnie, mianhada. Aku tidak bisa
menemanimu lagi. Nado, saranghaeyo.” Suaranya terdengar semakin melemah. Aku mempererat
pelukanku. Aku tidak ingin kehilangan Rin Noona, bagaimanapun juga aku masih
sayang kepadanya.
Aku menahan darahnya yang masih saja
mengalir. Aku menciumi keningnya, tapi apalah daya. Dia semakin lemas, dia
benar-benar sudah tak berdaya.
***
“ RIN NOONA!” Aku berteriak dan akhirnya
aku bangun dari tidur nyenyakku.
“ Ne?” Aku mendengar balasan dari arah
dapur.
Aku langsung bangun dari tidurku dan
berlari ke arah sumber suara. Rin Noona tampak sedang merapikan meja makan. Tanpa
melihat keadaannya sama sekali, aku langsung memeluknya hangat dari arah
belakang. Aku menciumi pipinya berkali-kali, Rin Noona hanya membalasku dengan
senyuman manisnya. “ Waeyo?” tanyanya sambil mengusapi punggung tanganku.
“ Jebal, gajima.” Aku masih menciumi
pipinya tapi kini aku mengeluarkan air mataku. “ Jjinjja jeongmal saranghaeyo~”
Aku semakin mempererat pelukanku.
“ Ne, aku akan selalu ada untukmu.” Ia
memegangi tanganku yang terus saja ada di pinggangnya. “ Kau ada jadwal?”
Tanyanya sambil menatapku.
“ Ada. Tapi aku sedang ingin bersamamu,
biarkan saja.” Aku masih saja memeluknya seperti seorang anak kecil yang
ditinggal Eommanya bertahun-tahun.
Rin Noona melepaskan pelukanku lalu
mengambil sebuah mangkuk berisi bubur jagung kesukaanku. Ia mengambil sebuah
suapan dan memberikannya padaku. Jarak kami saat ini menjadi sangat dekat, jadi
suapan itu langsung masuk ke mulutku. Sekarang aku memeluknya dari arah depan. Bagaimana
aku bisa hidup tanpa seorang Rin Noona? Sekarang aku sadar, di balik rasa
kesalku kepadanya masih ada rasa sayang kepadanya yang lebih besar dari apapun
itu.
Ia melihat jam tangan lalu ia melepas
pelukanku. “ Aku harus pergi.” Ia mengecup pipiku pelan lalu melangkah pergi. Ternyata
langkahku jauh lebih cepat daripada langkahnya. Aku langsung memeluknya untuk
menahannya agar ia tidak pergi. Aku terus mempererat pelukanku.
“ Noona-ya, hari ini saja.” Aku meminta
seperti seorang anak kecil lagi. “ Haruman.” Lagi aku menatapnya dengan tatapan
anak kecil.
“ Gurrae. Aku akan menemanimu Hunnie.”
Ia memegang hidungku yang agak merah.
***
Hari ini aku putuskan untuk mengajaknya
menghabiskan waktu di cafe. Di cafe ini kami bisa bernyanyi, tepat di
sampingnya ada sebuah taman kecil dengan dua buah ayunan yang berdekatan.
Kami menyumbangkan lagu yang biasa kami
nyanyikan berdua di cafe ini. Sedikit tawa diantara kita berdua. Lalu kami
berlanjut untuk bermain di taman kecil itu. Ia langsung menaiki ayunan dan
memintaku untuk mendorongnya dengan sangat kencang. Aku mendorongnya sambil
tertawa bersamanya, lalu kuhentikan ayunannya lalu kupeluk lagi ia dengan
sangat erat.
“ Hunnie, bagaimana kalau ini hanya
mimpimu?” Tanyanya sambil menahan tanganku.
“ Tidak mungkin, ini bukan mimpi.” Aku
membalas lagi sambil menciumi lehernya.
“ Aku hanya bertanya Hunnie.” Ia terus
saja menatapku sekarang.
“ Kalau ini hanya mimpi, aku tidak ingin
terbangun dari mimpiku.” Aku membalas sebisanya aku.
“ Hunnie, bangunlah~ Ini hanya sebuah
mimpi.” Ia menepuk-nepuk pipiku lembut.
“ Aniyo. Ini bukan mimpi, Noona.” Aku
memegangi tangannya yang berada di pipiku.
“ Ireona-ya, ireona~” Ia kini mengecup
pipiku. “ Hunnie, aku harus pergi. Satu hal yang harus kau tahu, aku
benar-benar mencintaimu lebih dari aku
mencintai diriku sendiri.” Ia mengecup bibirku hangat.
Tangannya melepas pelukanku yang masih
bertahan di pinggangnya. Ia melangkah jauh sambil melepas jaketnya. Gaun putih
itu kini terlihat di mataku, ia berjalan menjauh, semakin jauh, semakin jauh. Ia
menatapku sebentar lalu menyunggingkan senyumnya, lalu ia melangkah pergi lagi
dan ia ditelan oleh kabut yang sangat tebal di persimpangan jalan.
***
Aku membuka mataku dan menyadari aku
sedang tertidur di samping Rin Noona. Di badannya sudah terpasang berbagai
macam alat bantu napas dan pendeteksi detak jantung. Kini aku sadar yang mana
dunia mimpi dan yang mana dunia nyata. Aku menatap Rin Noona dengan alat bantu
napas yang menutupi hidungnya. Aku menggenggam tangannya yang sudah terdapat
inpus yang menancap di tangannya. Aku menggenggamnya erat tatkala saat itu
justru aku mengeluarkan air mataku. Aku mengusap rambutnya yang agak
berantakan, tapi aku masih saja menangis.
Terdengar pendeteksi detak jantung
berbunyi. Bunyi yang menandakan kalau jantung Rin Noona sudah tidak berdetak
lagi. “ Dokter! Suster! YA! JEBAL!” aku berteriak-teriak sambil berlari mencari
suster yang bisa menolong Rin Noona.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan
dokter yang seingatku dokter yang menangani Rin Noona. Aku langsung menariknya
untuk melihat keadaan Rin Noona. “ Jebal, kau tidak boleh membiarkannya pergi. Sunbaenim,
jebal.” Aku terus mendesak dokter karena keadaanku kini yang sangat ketakutan.
Dokter langsung memasuki ruangan lalu
disusul dengan suster-suster yang berada di belakangnya. Aku terduduk lesu di
ruang tunggu sambil mengingat setiap perkataan yang pernah diucapkannya. Aku juga
mulai mengingat peristiwa-peristiwa yang aku lewati bersamanya. Meskipun itu
sudah berlalu beberapa tahun yang lalu, aku masih mengingatnya. Aku memainkan
tanganku sampai sedikit berdarah.
Dokter berjalan keluar dengan tatapan
yang bisa kubaca. “ Gwaenchana. Biarkan saja dia pergi, gwaenchana.” Aku berkata
sebelum dokter selesai dengan ucapannya. Aku menahan tangisku yang sudah
terbendung di kantung mataku. Sehingga penglihatanku menjadi sangat buram.
Rin Noona benar-benar mencintaiku, aku
tahu itu. Dia tidak benar-benar meninggalkanku. Dia masih di sini untuk
menemaniku, dia sudah berjanji untuk melakukannya. Dia pasti hanya sedang
tertidur tetapi di tempat yang berbeda. Dia pasti sedang bersenang-senang di
sana sambil menungguku.
“ Rin Noona, saranghaeyo.” Aku mengecup
keningnya yang terasa sangat dingin.
Noona, aku janji aku akan selalu
mencintaimu. Aku janji aku akan menjadi seorang dokter yang peduli dengan
keadaan pasien. Aku janji akan menjadi seorang yang mandiri yang tidak
mengandalkan siapapun. Dan aku janji, aku akan menjaga hatiku untukmu. Aku mencintaimu.
~~oOo~~
Selesai juga, dan sebenernya ini terinspirasi dari video clip In
Heaven sama film Humming. Jadinya ya begini, maaf kalau ga bikin keluarin air
mata. Soalnya authornya lagi ga galau, kalau kalian galau mungkin agak greget
sedihnya. Oya, author kan baca ulang ceritanya sambil dengerin lagunya IU yang
The Story Only I Didn’t Know. Jadi rasanya
lumayan nyampe juga. Tapi kalau ganyampe, coba galau deh. Kayanya sih bakalan
nyampe. Maaf kalau author selalu bikin cerita yang sadness atau sad ending
gini, soalnya bahasa author puitis. Maafkan ._.v
No comments:
Post a Comment