Tuesday 13 May 2014

Why Can I Let You Go

Why Can I Let You Go
Author       : JongYi Hope Angel
Title           : Why Can I Let You Go
Genre        : Romance, sad
Length       : Freelance
Main Cast :
*) Oh Sehun aka Sehun
*) Park Rin Rin aka Rinrin
Other Cast : Find it by  yourself~
Disclaimer : Copast tanpa kredit? HIDUP ANDA TIDAK AKAN PERNAH TENANG!
“ Noona, mianhaeyo. I can’t kept my promise.” – Oh Sehun
Oh Sehun POV
Hari semakin gelap dan aku masih saja menunggu di cafe ini. Bahkan kopi yang kupesan tadi sekarang sudah tidak mengeluarkan asap lagi. Sepertinya hanya tinggal aku dan seorang barista di sini. Tiga jam sudah aku menghabiskan waktu di sini, mungkin dia tidak akan datang lagi. Meskipun ia yang memintaku menunggunya di sini, dia bisa saja menggagalkan rencananya sendiri. Dia terlalu sibuk dengan dunianya.
Hujan deras akhirnya mengguyur jalanan yang tidak akan pernah kosong. Satu per satu orang berlarian untuk melindungi diri mereka dari hujan yang sangat lebat. Sekali lagi, aku hanya berdiam diri sendiri di sini. Hanya dengan sebuah ponsel di depan mataku. Aku merangkai kata-kata lalu aku menghapusnya lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya aku hanya bisa menulis, ‘ Mianhae, aku pulang duluan. Ini sudah sangat gelap.’ Aku langsung mengirim pesan pendek itu dan bergegas pergi ke apartemenku.
Dengan menggunakan jaket hitamku, aku berlari mengejar bus yang sepertinya sudah akan pergi lagi dari halte dekat cafe. Aku merasa beruntung karena aku masih mendapatkan bangku kosong di bus, lebih tepatnya di samping teman wanitaku yang sepertinya mendapatkan kelas malam. Tidak ada pembicaraan sama sekali antara kita, ia terus memasang headsetnya dan melihat ke arah luar.
‘ Gwaenchana, pulanglah. Tidur yang lelap, aku berjanji padamu akan membelikan sarapan untukmu besok pagi~~ Saranghaeyo Hunnie~~’. Ternyata balasan dari seorang wanita yang bisa kupanggil sebagai kekasihku. Bahkan aku sudah menghapal balasannya dan aku sudah tahu hal apa yang akan ia lakukan esok. Ia akan datang, membangunkanku, memberikan sarapan, menyiapkan bajuku, mengecupku hangat, lalu pergi lagi. Sebenarnya aku tidak merasa ia seorang kekasihku sekarang, tetapi aku merasa dia adalah Noonaku.
Meskipun umur kami tidak terpaut terlalu jauh, aku hanya dua tahun lebih muda daripadanya dia selalu menganggapku seperti anak kecil. Entah ada hal apa, dulu aku sangat menggilainya. Bahkan aku selalu sengaja terjatuh ketika futsal agar aku bisa bertemu dengannya. Akupun mengikuti langkahnya memasuki dunia kedokteran, meskipun ia masuk lebih awal daripada aku.
Untuk sekarang ini aku berpikir lagi hal apa yang membuatku begitu mencintainya dulu? Aku merasa rasa yang dulu pernah aku punya menghilang begitu saja bersama angin kecil yang entah membawanya kemana. Berkali-kali aku berusaha mencari rasa itu lagi, justru aku merasakan hal lain.
Apartemenku sudah ada di depan mata, tinggal memasukan password dan aku bisa tertidur pulas di dalam sana. Di kamar, aku langsung tertidur begitu saja tanpa membuka sehelai benangpun dari tubuhku. Sepertinya aku kelelahan karena kegiatan hari ini.
***
Berkas-berkas cahaya putih menimpa mataku sehingga aku membuka mataku. Aku melihat-lihat ke sekeliling apartemen, tidak ada Rin Noona. Tidak biasanya dia telat terbangun, biasanya ia akan duduk di sampingku sambil mengocekan susu untukku. Mungkin ia lupa karena tugasnya menjadi dokter.
Aku berjalan mengambil air putih karena kerongkonganku terasa sangat kering. Lalu aku melangkah lagi ke arah jendela apartemen, tapi ada sesuatu yang mengganjalku. Aku berjalan mundur lagi dan melihat kalender. Tanggal delapan diberi warna merah olehku. Apa ini? Ternyata hari jadi kami yang keenam tahun. Biasanya Rin Noona akan datang dan menyampaikan beberapa patah kata sebagai tanda kalau ia senang bisa melewati masa itu dengan mudah. Tapi hari ini ia tidak datang.
Aku bergegas mandi dan berangkat ke kampus lagi. Hari ini aku pergi seperti biasa menggunakan bus. Tidak ada yang spesial di bus, hanya jalanan dengan gedung-gedung memenuhi pinggir jalan. Aku menatap ponselku, tidak ada pesan masuk sama sekali. Tanganku menyentuh kontak bernama Rin lalu menyentuh tanda telepon. Entah kenapa aku sedang ingin bertemu dengannya hari ini.
“ Noona, eoddiseo?” Tanyaku tanpa ada basa basi sama sekali.
Mianhae, pasienku membutuhkanku. Tapi hari ini aku ada jam mengajar di kampus, tenang saja.” Balasnya dengan suara yang sangat manis.
“ Na gwaenchana, Noona-ya. Tapi aku ingin bertemu denganmu, makan siang di cafe.” Lagi-lagi aku tidak bisa berbasa basi sedikitpun.
Ne, arraseo. Aku pasti datang. Hunnie, saranghaeyo~” Masih dengan suara yang sama seperti sebelumnya.
“ Nado saranghae, Rin Noona.” Aku langsung menutup telepon.
Entah kenapa, suara Rin Noona selalu saja bisa menaikan moodku. Mungkin ini yang membuatku selalu bertahan, tapi aku juga sering merasa lelah dengan sifatnya yang terlalu dewasa.
Jam pertama berjalan dengan baik. Break time aku isi dengan mengerjakan tugas yang belum aku selesaikan. Berlanjut lagi ke jam ketiga sekaligus juga jam terakhirku hari ini. Hingga waktu makan siang, kelas belum dibubarkan sama sekali. Rin Noona pasti sudah menungguku di cafe. ‘Hunnie, apa masih lama? Kalau tidak aku akan memesankan makanan untukmu dulu.’ Aku membuka ponselku tepat ketika kelas dibubarkan.
Di cafe terlihat Rin Noona yang sudah menikmati makanannya terlebih dahulu. Dengan gerakan cepat, aku langsung memasuki cafe dan duduk berhadapan bersamanya. Rin Noona hanya memberikan senyum kepadaku lalu memakan makanannya lagi.
“ Noona, kenapa kau mendahului aku?” Tanyaku membuyarkan suasana.
“ Sebenarnya masih ada pasien yang harus kuurus.” Balasnya sambil menatapku lembut, tangannya masih menarik-narik mie dari mangkuknya.
“ Apa kau menghindar dariku, Noona? Kenapa kau selalu sibuk di rumah sakit? Apa kau sudah tidak memedulikanku?” Tanyaku bertubi-tubi tanpa memberikannya ruang untuk membalas.
“ Aniyo.  Jika kau sudah lulus nanti, kau akan mengerti mengapa aku selalu seperti ini. Bahkan di rumah sakit aku selalu memikirkanmu, bagaimana caranya kita bisa berkencan dan berjalan berdua lagi.” Jelasnya, dan sekarang ia tidak memberikan ruang untukku membalas atau menyangkal tutur katanya.
“ Ah, kau selalu mengatakan itu.” Aku memakan mieku lahap.
“ Hunnie, aku ingin kau menjadi dokter yang sesungguhnya. Kalau aku sakit parah, kau harus berjanji padaku kaulah yang akan menanganiku.” Rin Noona menaruh sumpitnya karena memang ia sudah selesai menghabiskan makanannya.
“ Aku akan mengusahakannya.” Balasku asal.
“ Hunnie, aku harus pergi. Annyeong, chagi.” Ia mengecup bibirku dengan gerakan yang sangat cepat.
Aku menghabiskan mieku lebih cepat dari biasanya. Hari ini harusnya aku bekerja di toko buku. Karena keinginan untuk mandiri dan untuk pembuktian kepada Appa juga, aku rela bekerja part time setiap harinya. Setidaknya dengan bekerja juga akan mengisi waktu kosongku, walaupun agak sedikit melelahkan.
Aku berjalan keluar cafe dengan merapikan kemejaku dulu. Tetapi kegaduhan terjadi tepat di depan cafe. Orang-orang seperti mengelilingi sesuatu. Aku penasaran dengan apa yang terjadi, lagipula hanya tinggal beberapa bulan lagi aku akan mendapatkan gelar dokterku, jadi sekiranya aku bisa memberikan pertolongan pertama jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku menyisiri kerubunan orang-orang yang semakin lama semakin penuh dan menyesakan. Akhirnya aku bisa melihat apa yang terjadi.
“ Rin Noona?” Aku membulatkan mataku ketika aku menyadari siapa yang sedang tergeletak di sana.
Aku berlari mendekati Rin Noona. Aku pangku kepalanya yang masih mengeluarkan darah dengan derasnya. Wajahnya terlihat sangat pucat yang kuyakini karena kekurangan darah. Tangannya masih bisa digerakan tapi dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“ Noona-ya, kau bisa mendengarku?” Aku membisikan kata-kata di telinganya dan dibalas dengan anggukan lemas dari kepalanya. “ Noona, saranghaeyo~” Lanjutku dengan suara lebih lembut dari tadi.
“ Hunnie, mianhada. Aku tidak bisa menemanimu lagi. Nado, saranghaeyo.” Suaranya terdengar semakin melemah. Aku mempererat pelukanku. Aku tidak ingin kehilangan Rin Noona, bagaimanapun juga aku masih sayang kepadanya.
Aku menahan darahnya yang masih saja mengalir. Aku menciumi keningnya, tapi apalah daya. Dia semakin lemas, dia benar-benar sudah tak berdaya.
***
“ RIN NOONA!” Aku berteriak dan akhirnya aku bangun dari tidur nyenyakku.
“ Ne?” Aku mendengar balasan dari arah dapur.
Aku langsung bangun dari tidurku dan berlari ke arah sumber suara. Rin Noona tampak sedang merapikan meja makan. Tanpa melihat keadaannya sama sekali, aku langsung memeluknya hangat dari arah belakang. Aku menciumi pipinya berkali-kali, Rin Noona hanya membalasku dengan senyuman manisnya. “ Waeyo?” tanyanya sambil mengusapi punggung tanganku.
“ Jebal, gajima.” Aku masih menciumi pipinya tapi kini aku mengeluarkan air mataku. “ Jjinjja jeongmal saranghaeyo~” Aku semakin mempererat pelukanku.
“ Ne, aku akan selalu ada untukmu.” Ia memegangi tanganku yang terus saja ada di pinggangnya. “ Kau ada jadwal?” Tanyanya sambil menatapku.
“ Ada. Tapi aku sedang ingin bersamamu, biarkan saja.” Aku masih saja memeluknya seperti seorang anak kecil yang ditinggal Eommanya bertahun-tahun.
Rin Noona melepaskan pelukanku lalu mengambil sebuah mangkuk berisi bubur jagung kesukaanku. Ia mengambil sebuah suapan dan memberikannya padaku. Jarak kami saat ini menjadi sangat dekat, jadi suapan itu langsung masuk ke mulutku. Sekarang aku memeluknya dari arah depan. Bagaimana aku bisa hidup tanpa seorang Rin Noona? Sekarang aku sadar, di balik rasa kesalku kepadanya masih ada rasa sayang kepadanya yang lebih besar dari apapun itu.
Ia melihat jam tangan lalu ia melepas pelukanku. “ Aku harus pergi.” Ia mengecup pipiku pelan lalu melangkah pergi. Ternyata langkahku jauh lebih cepat daripada langkahnya. Aku langsung memeluknya untuk menahannya agar ia tidak pergi. Aku terus mempererat pelukanku.
“ Noona-ya, hari ini saja.” Aku meminta seperti seorang anak kecil lagi. “ Haruman.” Lagi aku menatapnya dengan tatapan anak kecil.
“ Gurrae. Aku akan menemanimu Hunnie.” Ia memegang hidungku yang agak merah.
***
Hari ini aku putuskan untuk mengajaknya menghabiskan waktu di cafe. Di cafe ini kami bisa bernyanyi, tepat di sampingnya ada sebuah taman kecil dengan dua buah ayunan yang berdekatan.
Kami menyumbangkan lagu yang biasa kami nyanyikan berdua di cafe ini. Sedikit tawa diantara kita berdua. Lalu kami berlanjut untuk bermain di taman kecil itu. Ia langsung menaiki ayunan dan memintaku untuk mendorongnya dengan sangat kencang. Aku mendorongnya sambil tertawa bersamanya, lalu kuhentikan ayunannya lalu kupeluk lagi ia dengan sangat erat.
“ Hunnie, bagaimana kalau ini hanya mimpimu?” Tanyanya sambil menahan tanganku.
“ Tidak mungkin, ini bukan mimpi.” Aku membalas lagi sambil menciumi lehernya.
“ Aku hanya bertanya Hunnie.” Ia terus saja menatapku sekarang.
“ Kalau ini hanya mimpi, aku tidak ingin terbangun dari mimpiku.” Aku membalas sebisanya aku.
“ Hunnie, bangunlah~ Ini hanya sebuah mimpi.” Ia menepuk-nepuk pipiku lembut.
“ Aniyo. Ini bukan mimpi, Noona.” Aku memegangi tangannya yang berada di pipiku.
“ Ireona-ya, ireona~” Ia kini mengecup pipiku. “ Hunnie, aku harus pergi. Satu hal yang harus kau tahu, aku benar-benar mencintaimu lebih  dari aku mencintai diriku sendiri.” Ia mengecup bibirku hangat.
Tangannya melepas pelukanku yang masih bertahan di pinggangnya. Ia melangkah jauh sambil melepas jaketnya. Gaun putih itu kini terlihat di mataku, ia berjalan menjauh, semakin jauh, semakin jauh. Ia menatapku sebentar lalu menyunggingkan senyumnya, lalu ia melangkah pergi lagi dan ia ditelan oleh kabut yang sangat tebal di persimpangan jalan.
***
Aku membuka mataku dan menyadari aku sedang tertidur di samping Rin Noona. Di badannya sudah terpasang berbagai macam alat bantu napas dan pendeteksi detak jantung. Kini aku sadar yang mana dunia mimpi dan yang mana dunia nyata. Aku menatap Rin Noona dengan alat bantu napas yang menutupi hidungnya. Aku menggenggam tangannya yang sudah terdapat inpus yang menancap di tangannya. Aku menggenggamnya erat tatkala saat itu justru aku mengeluarkan air mataku. Aku mengusap rambutnya yang agak berantakan, tapi aku masih saja menangis.
Terdengar pendeteksi detak jantung berbunyi. Bunyi yang menandakan kalau jantung Rin Noona sudah tidak berdetak lagi. “ Dokter! Suster! YA! JEBAL!” aku berteriak-teriak sambil berlari mencari suster yang bisa menolong Rin Noona.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan dokter yang seingatku dokter yang menangani Rin Noona. Aku langsung menariknya untuk melihat keadaan Rin Noona. “ Jebal, kau tidak boleh membiarkannya pergi. Sunbaenim, jebal.” Aku terus mendesak dokter karena keadaanku kini yang sangat ketakutan.
Dokter langsung memasuki ruangan lalu disusul dengan suster-suster yang berada di belakangnya. Aku terduduk lesu di ruang tunggu sambil mengingat setiap perkataan yang pernah diucapkannya. Aku juga mulai mengingat peristiwa-peristiwa yang aku lewati bersamanya. Meskipun itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu, aku masih mengingatnya. Aku memainkan tanganku sampai sedikit berdarah.
Dokter berjalan keluar dengan tatapan yang bisa kubaca. “ Gwaenchana. Biarkan saja dia pergi, gwaenchana.” Aku berkata sebelum dokter selesai dengan ucapannya. Aku menahan tangisku yang sudah terbendung di kantung mataku. Sehingga penglihatanku menjadi sangat buram.
Rin Noona benar-benar mencintaiku, aku tahu itu. Dia tidak benar-benar meninggalkanku. Dia masih di sini untuk menemaniku, dia sudah berjanji untuk melakukannya. Dia pasti hanya sedang tertidur tetapi di tempat yang berbeda. Dia pasti sedang bersenang-senang di sana sambil menungguku.
“ Rin Noona, saranghaeyo.” Aku mengecup keningnya yang terasa sangat dingin.
Noona, aku janji aku akan selalu mencintaimu. Aku janji aku akan menjadi seorang dokter yang peduli dengan keadaan pasien. Aku janji akan menjadi seorang yang mandiri yang tidak mengandalkan siapapun. Dan aku janji, aku akan menjaga hatiku untukmu. Aku mencintaimu.
~~oOo~~
Selesai juga, dan sebenernya ini terinspirasi dari video clip In Heaven sama film Humming. Jadinya ya begini, maaf kalau ga bikin keluarin air mata. Soalnya authornya lagi ga galau, kalau kalian galau mungkin agak greget sedihnya. Oya, author kan baca ulang ceritanya sambil dengerin lagunya IU yang The Story Only I  Didn’t Know. Jadi rasanya lumayan nyampe juga. Tapi kalau ganyampe, coba galau deh. Kayanya sih bakalan nyampe. Maaf kalau author selalu bikin cerita yang sadness atau sad ending gini, soalnya bahasa author puitis. Maafkan ._.v

No comments:

Post a Comment